Perpisahan adalah awal dari pertemuan. Hampir semua orang yang
baru mengalami perpisahan, bakalan dapet semangat dari sahabatnya, “Nanti juga
ketemu yang baru.” Atau, “Kalem, bro. Perpisahan kan awal dari pertemuan.”
Kemudian si orang yang patah hati itu akan merasa terhibur dan melupakan
kenyataan bahwa sesungguhnya perpisahan adalah akhir dari sebuah pertemuan.
Belum lama ini (Rabu 21-10- 15) aku baru aja kehilangan salah
satu sepupu. Dia yang berjuang tujuh hari tidak sadarkan diri(koma) akhirnya
“diluluskan” dalam keadaan syahid meninggal berjuang untuk melahirkan oleh Yang Maha Kuasa dan dipanggil untuk menghadap.
Sepupuku mengidap penyakit Preklamsia(tekanan darah tinggi
saat hamil). Rabu pagi(Rabu 14-10-15) dia mengalami kejang-kejang dengan tekanan
darah tinggi 240/50 yang mengakibatkan pembuluh darah diotak pecah hingga membuatnya
tak sadarkan diri dan langsung dilarikan ke RS. Siangnya dengan menggunakan
obat penurun darah, anak yang dikandungnya harus dikeluarkan melalui operasi
agar tidak megalami keracunan kehamilan namun Allah berkata lain cuma 5 menit
menghirup udara di dunia sang bayi meninggal dunia. Hari demi hari dilewati
sepupuku di RS tanpa sadarkan diri. Cuma di hari ke 2 saat orang tuanya berbisik “Iin harus kuat” dan dia merespon dengan meneteskan air mata. Yang bikin aku nangis ketika Maya anaknya sepupuku yang masih berumur 8 tahun selalu
mencatat moment di buku hariannya. Disitu aku liat kalimat yang ditulis
berkali-kali “Mama cepat sembuh ya..maya kangen mama".
Empat dokter spesialis yang merawat sepupu ku pasrah dengan
keadaan ini, katanya sadarpun dari koma hanya menunggu mukjizat dari Yang
Kuasa. Kalaupun sadar sepupuku harus melakukan cuci darah tiap minggunya
karena penyakit preklamsia merusak ginjal sang penderitanya.
Dihari keenam dimalam ketujuh seluruh keluarga siap menghadapi
apapun keadaan terpuruk. Khususnya dimalam ketujuh itu saling bergantian berbisik kepadanya dangan kalimat “In,
mama dan abah ikhlas dunia akhirat melepaskan Iin, kalonya Iin tidak sanggup
dengan kehidupan dunia dan mengizinkan Iin menemui Allah”, Kalimat ini
dibisikkan oleh orang tua, saudara kandung, sepupu dan suaminya.
Dihari
rabu *09.00am tepat dihari ketujuh. Saat dalam keadaan kuliah Manajemen
Pemasaran. Aku dapat kabar dari ayahku bahwa Ka Iin meninggal dunia. Spontan aku langsung minta izin kepada dosen agar diperbolehkan pulang. Aku langsung ke RS, disana aku liat beberapa perawat sedang melepaskan peralatan
medis yang memenuhi tubuhnya. Seusai itu aku ikut mengantarkan
jenazahnya ke rumahnya. Untuk pertama kalinya
dalam hidup gue, gue berani bantu untuk mengangkat jenazah. Untuk pertama
kalinya dalam hidupku, aku berani melihat proses pemandian jenazah. Untuk
pertama kalinya dalam hidupku, aku berani melihat proses mengafani. Padahal dulu waktu
Kakekku meninggal, aku cuma berani memandangi wajah beliau dari
balik pintu sambil meneteskan air mata. Setelah dimandikan, jenazah dikafani
dan segera dibawa ke masjid untuk disalatkan.
Hal yang paling mengharukan adalah ketika melepas kepergian dia untuk
disemayamkan di tempat peristirahatan terakhirnya. Doa mangalun semakin kencang
menepis keheningan suasana pemakaman. Hati semakin bergetar karena harus
mengalami perpisahan ini.
Setelah semua selesai. Kami berdoa bersama dipimpin salah satu
ustadz. Di saat yang sama, aku yakin semesta ikut berdoa. Semoga amal dan
ibadah nya diterima oleh Allah SWT.
Setelah beberapa pelayat pulang, yang tersisa hanya keluarga
menggerumungi makam dan yang paling depan adalah anaknya dan suaminya, disana aku liat seorang laki-laki yang sabar meliat seorang yang dicintai lebih dulu
menemui sang pencipta yang rindu dengan hambanya. Disela-sela doa ada perbincangan
menarik tentang firasat dari sahabat karibnya yang dikirimi personal chat
melalui Bbm “misalnya anak yang aku kandung ini meninggal kayaknya aku meninggal
juga” terus disahabatnya yang lain “aku rasa tidak sanggup lagi menahan” ternyata orang tua sepupuku juga bermimpi “dua batang giginya patah” dan juga orangtua ku sendiri tiap
malam gelisah mendengar orang ribut dan banyak lagi firasat" itu.
—
Setelah merebahkan diri di kasur, gue temenung. Gue menyadari
bahwa inilah perpisahan yang sesungguhnya. Perpisahan yang bener-bener akhir
dari sebuah pertemuan. Perpisahan yang bukan sekadar acara perpisahan SMA, wisuda,
merantau ke pulau seberang, atau bahkan
melepas kepergian pacar di bandara.
Apa arti perpisahan kalau akan bertemu lagi. Perpisahan nggak
sesederhana, “Nanti juga ada penggantinya.” Atau, “Pasti ada yang lebih baik.”
Bagi gue, ketika kita berpisah lalu akan bertemu kembali, baik dengan orang
yang sama atau pun penggantinya bukanlah sebuah perpisahan.
Bagi gue hidup adalah perjalanan. Di satu titik akan bertemu
seseorang lalu singgah. Setelah itu pindah dan singgah di titik lain. Akan ada
masa ketika gue nggak mendapat persinggahan di tengah jalan. Itu artinya gue
harus menyadari mungkinkah gue berjalan terlalu lambat, atau gue baru saja
melewatkan sesuatu.
Ada juga kalanya nanti gue akan singgah di satu titik untuk
waktu yang lama sekali. Hingga akhirnya di waktu yang sudah ditentukan gue
melakukan perpisahan. Atau mungkin gue yang harus jadi saksi perpisahan orang
terakhir yang jadi persinggahan. Entahlah.
Yang pasti, saat ini gue hanya perlu berjalan.