Rabu, 25 November 2015

Berputar Searah Jarum Jam


Di luar hujan. Siapa yang nggak suka musim hujan? Bau petrikor yang menguap dari tanah basah, sungai cemas yang mengalir menyusuri kaca jendela, alunan rindu setiap kali air beradu dengan genting.

Sekitar 1,5 tahun tidak melihat wajahnya. Kini aku melihatnya lagi. Malam itu ada notification line darinya.

Kadang kita tak hentinya meminta waktu, meminta kesempatan lagi kepada orang lain, kepada semesta, bahkan kepada Tuhan. Sebuah kesalahan yang sudah kamu lakukan, jika itu diperbuat tanpa ada unsur kesengajaan, hanya mengikuti kata hati, dan itu salah, maka kamu pasti ingin memperbaikinya sepenuh hati.

Namun apa daya? Waktu itu sudah dirancang Tuhan dan dieksekusi semesta berputar searah jarum jam, atau perputaran jarum jam itu sendiri yang mengikuti arah berjalannya waktu. Entahlah, yang pasti waktu terus berjalan, ke depan. Kata “seandainya” takkan pernah habis terlintas dalam benak seseorang yang sudah melakukan kesalahan, tanpa ia sengaja. Kata tersebut sepertinya bergandengan dengan benda nista bernama penyesalan.

“Kita tak bisa selalu mendapatkan apa yang kita mau di waktu yang kita inginkan. Tuhan lebih tahu. Doamu bukan tidak dikabulkan, hanya saja digantikan dengan yang lebih indah, atau disimpan sampai waktu yang lebih indah.”

Perpisahan


Perpisahan adalah awal dari pertemuan. Hampir semua orang yang baru mengalami perpisahan, bakalan dapet semangat dari sahabatnya, Nanti juga ketemu yang baru.” Atau, “Kalem, bro. Perpisahan kan awal dari pertemuan.” Kemudian si orang yang patah hati itu akan merasa terhibur dan melupakan kenyataan bahwa sesungguhnya perpisahan adalah akhir dari sebuah pertemuan.
Belum lama ini (Rabu 21-10- 15) aku baru aja kehilangan salah satu sepupu. Dia yang berjuang tujuh hari tidak sadarkan diri(koma) akhirnya “diluluskan” dalam keadaan syahid meninggal berjuang untuk melahirkan oleh Yang Maha Kuasa dan dipanggil untuk menghadap.
Sepupuku mengidap penyakit Preklamsia(tekanan darah tinggi saat hamil). Rabu pagi(Rabu 14-10-15) dia mengalami kejang-kejang dengan tekanan darah tinggi 240/50 yang mengakibatkan pembuluh darah diotak pecah hingga membuatnya tak sadarkan diri dan langsung dilarikan ke RS. Siangnya dengan menggunakan obat penurun darah, anak yang dikandungnya harus dikeluarkan melalui operasi agar tidak megalami keracunan kehamilan namun Allah berkata lain cuma 5 menit menghirup udara di dunia sang bayi meninggal dunia. Hari demi hari dilewati sepupuku di RS tanpa sadarkan diri. Cuma di hari ke 2 saat orang tuanya berbisik “Iin harus kuat” dan dia merespon dengan meneteskan air mata. Yang bikin aku nangis ketika Maya anaknya sepupuku yang masih berumur 8 tahun selalu mencatat moment di buku hariannya. Disitu aku liat kalimat yang ditulis berkali-kali “Mama cepat sembuh ya..maya kangen mama".
Empat dokter spesialis yang merawat sepupu ku pasrah dengan keadaan ini, katanya sadarpun dari koma hanya menunggu mukjizat dari Yang Kuasa. Kalaupun sadar sepupuku harus melakukan cuci darah tiap minggunya karena penyakit preklamsia merusak ginjal sang penderitanya.
Dihari keenam dimalam ketujuh seluruh keluarga siap menghadapi apapun keadaan terpuruk. Khususnya dimalam ketujuh itu saling bergantian berbisik kepadanya dangan kalimat “In, mama dan abah ikhlas dunia akhirat melepaskan Iin, kalonya Iin tidak sanggup dengan kehidupan dunia dan mengizinkan Iin menemui Allah”, Kalimat ini dibisikkan oleh orang tua, saudara kandung, sepupu dan suaminya.
Dihari rabu *09.00am tepat dihari ketujuh. Saat dalam keadaan kuliah Manajemen Pemasaran. Aku dapat kabar dari ayahku bahwa Ka Iin meninggal dunia. Spontan aku langsung minta izin kepada dosen agar diperbolehkan pulang. Aku langsung ke RS, disana aku liat beberapa perawat sedang melepaskan peralatan medis yang memenuhi tubuhnya. Seusai itu aku ikut mengantarkan jenazahnya ke rumahnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup gue, gue berani bantu untuk mengangkat jenazah. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berani melihat proses pemandian jenazah. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berani melihat proses mengafani. Padahal dulu waktu Kakekku meninggal, aku cuma berani memandangi wajah beliau dari balik pintu sambil meneteskan air mata. Setelah dimandikan, jenazah dikafani dan segera dibawa ke masjid untuk disalatkan.

Hal yang paling mengharukan adalah ketika melepas kepergian dia untuk disemayamkan di tempat peristirahatan terakhirnya. Doa mangalun semakin kencang menepis keheningan suasana pemakaman. Hati semakin bergetar karena harus mengalami perpisahan ini.
Setelah semua selesai. Kami berdoa bersama dipimpin salah satu ustadz. Di saat yang sama, aku yakin semesta ikut berdoa. Semoga amal dan ibadah nya diterima oleh Allah SWT.
Setelah beberapa pelayat pulang, yang tersisa hanya keluarga menggerumungi makam dan yang paling depan adalah anaknya dan suaminya, disana aku liat seorang laki-laki yang sabar meliat seorang yang dicintai lebih dulu menemui sang pencipta yang rindu dengan hambanya. Disela-sela doa ada perbincangan menarik tentang firasat dari sahabat karibnya yang dikirimi personal chat melalui Bbm “misalnya anak yang aku kandung ini meninggal kayaknya aku meninggal juga” terus disahabatnya yang lain “aku rasa tidak sanggup lagi menahan” ternyata orang tua sepupuku juga bermimpi “dua batang giginya patah” dan juga orangtua ku sendiri tiap malam gelisah mendengar orang ribut dan banyak lagi firasat" itu.
Setelah merebahkan diri di kasur, gue temenung. Gue menyadari bahwa inilah perpisahan yang sesungguhnya. Perpisahan yang bener-bener akhir dari sebuah pertemuan. Perpisahan yang bukan sekadar acara perpisahan SMA, wisuda,  merantau ke pulau seberang, atau bahkan melepas kepergian pacar di bandara.
Apa arti perpisahan kalau akan bertemu lagi. Perpisahan nggak sesederhana, “Nanti juga ada penggantinya.” Atau, “Pasti ada yang lebih baik.” Bagi gue, ketika kita berpisah lalu akan bertemu kembali, baik dengan orang yang sama atau pun penggantinya bukanlah sebuah perpisahan.
Bagi gue hidup adalah perjalanan. Di satu titik akan bertemu seseorang lalu singgah. Setelah itu pindah dan singgah di titik lain. Akan ada masa ketika gue nggak mendapat persinggahan di tengah jalan. Itu artinya gue harus menyadari mungkinkah gue berjalan terlalu lambat, atau gue baru saja melewatkan sesuatu.
Ada juga kalanya nanti gue akan singgah di satu titik untuk waktu yang lama sekali. Hingga akhirnya di waktu yang sudah ditentukan gue melakukan perpisahan. Atau mungkin gue yang harus jadi saksi perpisahan orang terakhir yang jadi persinggahan. Entahlah.

Yang pasti, saat ini gue hanya perlu berjalan.